Senin, 08 Juli 2013

Telagasari

Sebuah tempat di sekitar kawasan Balikpapan bagian Selatan menjadi salah satu tempat bersejarah yang turut andil dalam membesarkan kota Balikpapan. Sebut saja “Telagasari”. Anda pasti familier dengan tempat ini. Sebuah tempat yang terletak di pertigaan antara Gunung Pasir, Martadinata, dan Gunung Sari. Terletak di sebelah kiri jalan jika Anda dari arah Gunung Pasir.

Telagasari juga menjadi nama salah satu kelurahan di Kecamatan Balikpapan Selatan. Dan daerah di sekitar pertigaan itu pun mulai dikenal dengan daerah Telagasari. Sebenarnya nama Telagasari tidak langsung asal comot begitu saja. Ada hasil, tentu ada proses. Dan ada sejarah tentunya. Mari kita menilik sejarah Telagasari beberapa tahun silam.

Jika dilihat dari namanya, Telagasari, Anda pasti akan langsung berpikir tentang sebuah telaga. Benar, dahulu memang terdapat sebuah telaga yang memenuhi kawasan daerah Gunung Pasir. Dari telaga itulah mulai dikenal sebagai Telagasari. Kata ‘sari’, saya juga tidak tahu mengapa kata “telaga” digabungkan dengan kata “sari”, dan kini nama “telagasari”-lah yang dikenal dan berkembang di kalangan masyarakat Balikpapan.

Konon, telaga tersebut berukuran lumayan besar (tidak tahu pasti berapa ukurannya) memenuhi sudut ruang kota dengan air yang bening__hijau kebiruan, seperti sebuah telaga pada umumnya. Di sekelilingnya dipenuhi pepohonan jenis ketapang dan akasia yang berjejer rapi, tumbuhan karamunting yang hijau, dan rerumputan gajah yang segar menghiasi sekat-sekat di antara pepohonan. Saat tengah hari, matahari membiaskan berkas sinarnya ke permukaan air yang bening, memamerkan ikan-ikan yang asyik bermain.

Jika kita duduk di salah satu sudut telaga, kita bisa merasakan hembusan angin yang wangi dan menyegarkan saluran pernapasan. Sesekali terdengar kicauan burung gereja yang riang menari-nari di celah-celah pepohonan akasia. Bahkan ada beberapa yang bercermin di atas air telaga.

Keeksotikan telaga ini seperti magnet yang mampu menarik siapa saja. Telaga ini memang seperti taman hiburan pada waktu itu. Tidak sedikit masyarakat yang mengunjungi telaga ini hanya untuk sekadar menikmati view-nya, menghabiskan weekend bersama keluarga, menyegarkan badan dengan berenang di airnya yang sejuk, ataupun untuk memancing. Bahkan banyak pemuda-pemudi yang berpacaran di pinggir telaga.

Pada saat Ibu Pertiwi berada dalam masa pemerintahan kolonial Belanda, sudah dilakukan perencanaan dan perancangan pembangunan kota di Balikpapan. Belanda berencana akan menjadikan telaga itu sebagai bendungan sekaligus hutan kota. Bahkan Belanda sudah terlebih dahulu melakukan penelitian dan perhitungan yang matang. Pohon-pohon akasia dan ketapang ditanam di sekeliling telaga sampai ke tanah lapang di bagian belakang telaga yang dulunya tembus sampai ke SMP 2 (sekarang). Pada saat itu memang belum dibangun rumah-rumah penduduk apalagi gedung-gedung perkantoran seperti saat ini.

Penanaman pohon akasia dimaksudkan untuk menjaga air tanah, atau bisa dikatakan sebagai daerah resapan air, yang juga berfungsi menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan longsor. Belanda menancapkan besi-besi (yang tidak tahu pasti tingginya berapa. hehe…) di tengah-tengah telaga untuk menjaga stabilitas tanah di dasar telaga.

Seperti halnya laut dan sungai, telaga ini juga mengalami pasang-surut. Jika waktu pasang, air di dalam telaga bisa sampai menutupi besi-besi itu. Dan ketika waktu surut, kita dapat dengan jelas melihat tumbuh-tumbuhan yang hidup di dasar telaga.

Hingga sekitar tahun 60-80-an (setelah Indonesia merdeka tentunya) mulailah muncul tangan-tangan tak bertanggung jawab, merusak karya Tuhan itu. Pohon-pohon akasia mulai ditebang satu per satu, dan dibukalah lahan baru yang dibagi menjadi kapling-kapling untuk dijual, yang kemudian dibangun pemukiman penduduk, sekolah, dan gedung-gedung.

Pada tahun 90-an, air telaga mulai surut dan bahkan nyaris habis. Hingga tinggallah telaga yang dulunya biru dengan air jernih, bermetamorfosa menjadi rawa-rawa yang dipenuhi enceng gondok dan lumut.

Dan saat ini kita bisa melihat daerah Telagasari telah dipadati rumah penduduk, perumahan AL, sekolah-sekolah, kampus, dan perkantoran. Dan final-nya, terjadilah peristiwa yang harus ditanggung bersama akibat perbuatan yang memang pada dasarnya adalah karena ulah manusia sendiri. Hingga Tuhan menegur warga Balikpapan dengan sebuah musibah longsor, yang selain mengakibatkan kerugian financial, juga turut menelan korban jiwa. Anda tentu ingat dengan peristiwa itu. Peristiwa yang terjadi pada bulan September 2007 yang lalu, yang menewaskan tiga orang, dan mengakibatkan putusnya jalan Kapten Pierre Tendean – Gunung Pasir.

Setelah dilakukan penelitian, musibah longsor tersebut bisa terjadi akibat tanah yang tak mampu menahan air hujan yang memang pada waktu itu tak henti-hentinya mengguyur Balikpapan. Akibat agresivitas penebangan pohon yang dilakukan di sekitar daerah telaga yang waktu itu sudah berupa rawa-rawa, mengakibatkan minimnya jumlah pepohonan di daerah Telagasari. Sehingga ketika hujan turun, pohon-pohon yang tersisa pada waktu itu tak mampu menahan air hujan yang berlimpah.

Selidik punya selidik, ternyata telah terjadi pengambilan/penyedotan air tanah yang berlebihan dan terus-menerus di bagian bawah jalan yang putus hingga ke Telagasari. Akibatnya, terjadilah longsor yang juga menyebabkan putusnya jalan.

Sekarang, jika Anda melewati Jalan Kapten Pierre Tendean, Anda dapat melihat dengan jelas perbedaan yang kontras antara Telagasari yang dulunya hijau dipenuhi pepohonan rindang dengan pesona telaganya yang memukau, dan Telagasari yang kini tinggallah tanah kosong gersang serta saat ini tengah dalam masa pembangunan untuk dijadikan sebuah bendungan.

Lihatlah perbedaannya. Telaga yang dulu dibingkai dengan pepohonan ketapang dan akasia, kini dibingkai dengan pagar semen yang dicat berwarna merah-kuning gading. Bagi yang telah lama tinggal dan menetap di Balikpapan, Anda tentu dapat melihatnya dengan jelas.

Itulah harga yang harus dibayar karena manusia tak mampu menjaga dan melestarikan ciptaan Tuhan dengan baik. Alam dirusak, akibatnya alam kembali menumpahkan kemarahannya pada manusia.

Saya pernah membayangkan, akan jadi seperti apa Telagasari sepuluh tahun ke depan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar